Kumpulan Catatan Dahlan Iskan

Just a Journal of Dahlan Iskan, The CEO Jawa Post

Belajar Mengatasi Krismon dari Tiongkok

29 November 2003

Belajar Mengatasi Krismon dari Tiongkok
Catatan Dahlan Iskan

DALAM seminar besar yang diselenggarakan mahasiswa Universitas Petra Surabaya bulan lalu, seorang peserta bertanya pada saya: apakah Tiongkok juga akan mengalami krisis ekonomi? Pertanyaan tersebut dikemukakan lantaran negeri itu sudah mengalami pertumbuhan ekonomi antara 9 sampai 12 persen pertahun selama sudah lebih dari 10 tahun berturut-turut.

Waktu itu saya akan sulit menjawab karena saya bukanlah ahli ekonomi. Tentu saya banyak sekali membaca perkembangan ekonomi Tiongkok, namun tetap saja saya tidak punya otoritas untuk menjawabnya. Namun pertanyaan mahasiswa Petra tersebut terus mendorong saya untuk ikut mencari jawabnya. Apalagi sejak pertanyaan itu diajukan hingga tulisan ini saya buat, saya sempat dua kali lagi ke Tiongkok. Tentu saya juga banyak bertanya, membaca dan menganalisis apa yang sedang terjadi dan kemungkinan apa yang bakal terjadi.

Memang banyak juga pengamat dan pelaku bisnis yang memperkirakan bahwa Tiongkok juga akan dapat giliran ambruk. Mereka tinggal berbeda pendapat mengenai kapan waktunya? Ada yang berpendapat bencana itu akan terjadi pada tahun 2009, yakni setelah Olimpiade Beijing, ada juga yang berpendapat lebih cepat dari itu.

Dasar pemikiran kelompok ini adalah logika bahwa pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi secara terus menerus akan membuat ekonomi kepanasan (over heated) sehingga pada saatnya akan meledak.

Pendapat itu juga didasari pada besarnya kredit macet di bank-bank Tiongkok yang nilainya jauh sekali lebih besar dari kredit macet di bank-bank di Indonesia sebelum krisis. Hal itu terjadi karena sistem perbankan di sana juga masih belum baik, sesuatu yang dulu juga terjadi di Indonesia.

Gejala jelek lain adalah booming properti. Di mana-mana di seluruh Tiongkok orang membangun rumah, gedung, kota baru, jembatan, hotel, apartemen seperti tak habis-habisnya. Akibatnya banyak rumah dan apartemen dan perkantoran yang tidak laku. Gedung-gedung tinggi yang gres dan wah itu masih banyak yang kosong tak terjual.

Belum lagi adanya faktor eksternal yang bisa saja sengaja ingin mengganggu Tiongkok agar tidak bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Pihak eksternal itu bisa saja merasa Tiongkok akan jadi ancaman bagi dominasi ekonomi negaranya selama ini.

Bagaimana pendapat saya sendiri? Saya tidak setuju dengan analisis itu. Tiongkok akan bisa terhindar dari krisis ekonomi dengan beberapa fakta berikut ini :

Pertama, cadangan devisa Tiongkok luar biasa besarnya. Kini mencapai USD 400 miliar dan masih akan terus bertambah lagi. Negara-negara yang terkena krisis ekonomi lima tahun lalu umumnya tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup.

Kedua, bisnis properti memang boom, namun agak berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia atau Thailand waktu itu. Boomingnya properti di Tiongkok tidak sampai membuat harga-harga properti naik gila-gilaan. Selama lima tahun terakhir, kenaikan harga properti di Tiongkok hanya mencapai 4 persen saja.

Suatu kenaikan yang amat kecil. Bandingkan dengan booming properti di Indonesia saat itu yang kenaikan harganya tak terbendung, terus naik seperti mengikuti selera yang menggoreng harga. Ketiga, investasi asing di Tiongkok lebih banyak yang bersifat investasi langsung. Bukan investasi saham atau pinjaman luar negeri. Dengan investasi yang sifatnya langsung investor asing tidak akan gampang cabut dari Tiongkok. Dan memang aturan investasi di Tiongkok yang di satu pihak dipuji setinggi langit itu sebenarnya ada segi yang sangat jitu: investor tidak bisa membawa keluar uang mereka. Ini sangat berbeda dengan investasi lewat bursa saham yang setiap detik bisa ditarik ke luar. Di Tiongkok, saat ini, pasar saham di sana justru melemah. Indeks harga saham di bursa Shanghai maupun Shenzhen justru turun terus bahkan sampai 40 persen dari harga tertingginya. Keempat, kontrol devisa di Tiongkok dilakukan sesuai dengan kepentingan negeri itu, termasuk terus memasang kurs yuan pada tingkat yang sangat menguntungkan ekspor negeri itu. Ini sama sekali bertolak belakang dibanding dengan negara-negara yang terkena krisis ekonomi lima tahun lalu. Indonesia, misalnya, saat itu menganut sistem devisa yang sebebas-bebasnya dengan menetapkan nilai tukar rupiah yang semangambang-mengambangnya. Biar pun tekanan untuk mengubah sistem nilai tukar yuan begitu kuat , toh nyatanya Tiongkok tetap bergeming.

Kelima, Tiongkok sendiri sudah mulai memperbaiki sistemnya. Termasuk “menurunkan” suhu booming properti. Lima bulan lalu Tiongkok mulai mengendalikan kredit untuk properti. Sistem perbankannya juga terus diperbaiki.

Tentu setiap orang bisa punya pandangan yang berbeda. Saya sendiri masih akan terus mengamati apa yang terjadi di sana sehingga bisa saja suatu saat ada perkembangan lain yang bisa mengakibatkan kesimpulan yang lain pula.(*)

Filed under: Uncategorized, , , ,

Kalau Saja Disewakan ke Indonesia

Jatuh Bangunnya Perusahaan Penerbangan Indonesia

01 Juni 2003

Catatan Dahlan Iskan
“Pengin jadi jutawan?”
“Gampang!”
“Gampang bagaimana?”
“Jadikan diri Anda seorang miliader dulu. Lalu, bikinlah perusahaan penerbangan. Anda akan segera jadi jutawan…”

***

Itu memang hanya humor. Tapi, di saat banyak orang ingin mendirikan perusahaan penerbangan dan kemudian ternyata banyak juga yang mengalami kesulitan, humor tersebut tentu cukup mengena.

Punya perusahaan penerbangan, rupanya, memang sangat menggoda. Punya pesawat saja sudah bisa membuat orang kagum, apalagi punya perusahaan penerbangan. Meski harga pesawat (bekas) belum tentu lebih mahal daripada sebuah pabrik kelas menengah, seseorang yang baru saja membeli pesawat akan jadi buah bibir di mana-mana. “Wah, dia beli pesawat” akan jadi kalimat yang bertebaran dari mulut ke mulut.

Sebelum krisis, ketika banyak pengusaha membeli pesawat pribadi, saya melihat seorang konglomerat yang tidak tergoda. Yakni Eka Tjipta Widjaya. Padahal, saat itu, dia konglomerat nomor tiga setelah Liem Sioe Liong dan William Soeryajaya. Saya pernah bertanya mengapa tidak ikut beli pesawat?

Jawabannya dua macam. Yang serius dan yang bercanda. “Bukankah untuk bisa makan sate tidak perlu memelihara kambing sendiri?” ujar Pak Eka setengah bercanda dan setengah berfilsafat. Lalu, dia memberikan jawaban yang serius, tapi juga ada nada candanya: “Kalau saya punya pesawat, dalam praktiknya, orang lain yang akan lebih sering memakai,” katanya. Mengapa? “Tentu akan banyak sekali penguasa yang pinjam. Dan, saya tidak mungkin bisa menolak,” jelasnya.

***

Saya juga ingat suatu saat kedatangan tamu penting. Orangnya sederhana. Tidak pakai dasi dan bajunya juga tidak perlente. Padahal, dia seorang lulusan MIT, sebuah perguruan tinggi paling beken di AS. Padahal, dia seorang presiden direktur sebuah perusahaan penerbangan.

Dia menceritakan optimismenya. Perusahaan penerbangan baru yang kepemimpinannya diserahkan kepadanya akan terus mengalami kemajuan. Dia bangga dengan pilihan strategi untuk menggunakan pesawat yang relatif baru: Boeing 737-300. Bukan seri 200 seperti perusahaan penerbangan swasta yang sudah ada. Dia juga bangga dengan strateginya untuk hanya berfokus melayani jurusan paling gemuk Jakarta-Surabaya.

Di sini dia head on dengan Garuda. Pesawatnya pun dibuat mirip Garuda, sedangkan harga tiketnya lebih murah. Jadwalnya juga dibuat mepet dengan Garuda, sedangkan keberangkatannya selalu diusahakan on time.

Sungguh tak disangka kalau tidak lama kemudian satu per satu jadwalnya hilang. Bahkan, akhirnya rute Jakarta-Surabaya ditutup sama sekali. Tapi, perusahaan tersebut barangkali memang belum sampai jatuh jadi jutawan. Buktinya masih terus berusaha hidup meski hanya menerbangi satu rute.

***

Siapa pun tentu juga masih ingat munculnya perusahaan penerbangan yang sangat spektakuler: Sempati. Pimpinannya seorang MBA dari Harvard. Terobosan manajemennya begitu banyak dan serba mengejutkan. Mulai memperkenalkan sistem city check-in sampai melakukan garansi tepat waktu. Ada pula undian di udara. Yang juga spektakuler adalah kemampuannya untuk hanya transit di suatu bandara selama 20 menit. Padahal, perusahaan penerbangan lain harus 30 atau 40 menit. Dengan waktu transit yang hanya 20 menit, maka kalau sebuah pesawat dari perusahaan penerbangan lain hanya mampu menjalani lima rute sehari, Sempati bisa enam rute.

Bagaimana cara mempersingkat waktu transit? Penumpang diminta keluar dari pintu depan. Sementara itu, dalam waktu hampir bersamaan, petugas kebersihan masuk dari pintu belakang. Dengan demikian, ketika penumpang terakhir keluar dari pesawat, bagian pembersihan sudah menyelesaikan 50 persen lebih tugasnya.

Maka, pimpinan perusahaan penerbangan tersebut menjadi amat terkenal. Di mana-mana ada seminar manajemen, dia jadi pembicaranya. Sering juga bersama saya. Atau, paling tidak, namanya disebut-sebut sebagai contoh jadi baik.

Sungguh tak dinyana kalau umur perusahaan penerbangan itu tidak panjang. Dia tidak hanya jatuh jadi jutawan, malah dinyatakan pailit sama sekali.

***

Lalu, pernah pula ada Awair. Semula banyak dirumorkan bahwa perusahaan penerbangan tersebut punya hubungan dengan Gus Dur sehingga Awair dikira singkatan dari Abdurrahman Wahid Air. Ternyata tidak.

Namun, dalam suatu pertemuan dengan Gus Dur, saya sempat juga terkesima. Waktu saya diterima Gus Dur, di situ sudah ada dua orang pimpinan Awair. Entah apa yang diceritakannya kepada Gus Dur, yang jelas Gus Dur kembali menceritakan kepada saya mengenai betapa membanggakannya Awair. “Sebentar lagi, Awair akan menerbangi rute internasional,” ujarnya. “Bahkan, sudah segera memesan Airbus XXX,” tambah beliau.

Airbus XXX adalah pesawat terbesar yang sedang dibuat yang akan menjadi pesawat terbesar di muka bumi. Pesawat itu begitu besarnya sehingga ada ruang olah raganya. Kabinnya dua tingkat dari muka sampai belakang.

Begitu besarnya pesawat ini sehingga pintu keluarnya pun akan ada yang atas dan ada yang bawah. Dengan begitu, kalau pesawat ini kelak benar-benar dipergunakan, harus banyak bandara yang menyesuaikan diri. Terutama dalam penyediaan “belalai gajah”-nya.

Saya tidak mengira bahwa tak lama setelah pertemuan dengan Gus Dur tersebut, Awair tidak lagi mengudara. Pemiliknya, seorang pengusaha kimia, rugi ratusan miliar. Nama pemilik Awair tetap harum karena bisa menyelesaikan seluruh kewajibannya tanpa cacat. Perusahaan kimianya pun masih terus bertambah besar.

***

Meski sudah banyak yang sulit, rupanya, minat untuk mendirikan perusahaan penerbangan tidak pernah surut. Dalam skala yang amat kecil, ini mirip dengan orang mau bikin koran.

Saya sendiri kini tidak hafal ada berapa perusahaan penerbangan di Indonesia. Begitu banyak nama baru. Sebagai orang yang sering ke berbagai daerah di seluruh Indonesia, saya amat tertolong. Banyak rute baru dibuka. Rute “aneh-aneh” seperti Pontianak-Batam atau Jogya-Balikpapan kini ada yang menerbangi.

Tarif pun luar biasa murahnya. Kini tidak merasa berat lagi ke Jayapura atau ke Medan. Tinggal kita terus berdoa mudah-mudahan tidak ada lagi yang tutup. Agar tetap banyak rute baru. Memang, terjadinya perang tarif seperti sekarang kadang-kadang menimbulkan pertanyaan: apakah cukup untuk biaya perawatan? Apakah perawatannya dilakukan dengan benar? Bukankah pesawat yang dipakai umumnya yang tahun 1980-an (Boeing 737-200 atau MD-80) yang tentu saja memerlukan perhatian lebih besar?

Begitu kerasnya perlombaan turun tarif tersebut sehingga iklan Sampoerna perlu dikutip di sini: how low can you go!

***

Di tengah lomba turun harga seperti itu, Garuda yang menggunakan pesawat lebih baru tentu tidak akan kuat melayani. Memang Garuda juga menyediakan tarif hanya Rp 199.000 untuk Surabaya-Jakarta, namun itu tidak untuk semua kursi. Sekadar untuk ikut ramai-ramai perang tarif, rupanya. Dengan banyaknya pesawat Lions dan Bouraq jurusan Jakarta-Surabaya, bisa jadi penumpang Garuda memang tersedot ke sana.

Maka, kini Garuda menempuh kiat baru. Balik menyedot penumpang dengan menggunakan pesawat besar untuk Surabaya-Jakarta. Pilotnya pun ikut promosi dengan memberikan pengumuman kepada penumpangnya begini: Selamat datang di dalam pesawat Garuda, pesawat yang paling canggih… Rupanya, dengan menggunakan kalimat “paling canggih”, Garuda ingin mengingatkan bahwa perusahaan lain menggunakan pesawat tahun 1980-an.

Benarkah pesawat yang digunakan Garuda itu yang paling canggih? Sabar dulu. Sang pilot masih meneruskan kata-kata “yang paling canggih” tersebut dengan lanjutan “yang dimiliki oleh Garuda…”

***

Kalau pesawat Concorde mulai kemarin tidak lagi terbang untuk selama-lamanya, tentu tidak ada hubungannya dengan perang tarif. Pesawat itu memang sudah waktunya tidak boleh terbang karena umurnya yang sudah 20 tahun. Kalau saja bisa disewakan ke Indonesia, barangkali saja masih bisa diberdayakan. Namun, mau untuk jurusan mana?

Saya tidak menyesal Concorde mengakhiri masa baktinya. Saya sudah pernah “makan sate”-nya. Saya pernah menggunakan Concorde ketika akan pergi dari London ke New York. Saya akan terus ingat pengalaman itu meski sertifikat saya sebagai orang yang pernah naik Concorde hilang entah di mana.

Yang selalu saya ingat adalah bahwa jarak London-New York hanya saya tempuh 3,5 jam. Saya berangkat dari London pukul 10.00, sampai di New York masih pukul 09.30. Malah lebih pagi setengah jam!

Saya juga masih ingat bagaimana rasanya percepatan laju pesawat itu hingga akhirnya mencapai dua kali kecepatan suara. Juga bagaimana melihat bumi yang melengkung dari ketinggian 60.000 kaki itu!**

Filed under: Uncategorized, , , , , , ,

Tarif Listrik Regional: Harus tapi Khawatir

Selasa, 3 Juni 2003

Catatan Dahlan Iskan
Tarif Listrik Regional: Harus tapi Khawatir

DI banyak daerah, ongkos produksi PLN jauh lebih tinggi dari harga jual ke masyarakat. Ini karena PLN di banyak daerah harus memproduksi listrik dengan tenaga diesel yang berbahan bakar solar. (Solar adalah peringkat tertinggi tingkat kemahalannya untuk memperoduksi listrik, jauh lebih mahal dibanding -sesuai dengan urutannya: gas, batu bara, air, nuklir dan angin).

Ongkos produksinya antara Rp 800 sampai Rp 1000/kw, sedang jualnya ke masyarakat hanya sekitar Rp 600/kw. Maka tak heran bila tiga tahun terakhir, PLN Kaltim, misalnya, rugi rata-rata Rp 120 miliar/tahun. Dan PLN Kalbar rugi rata-rata hampir Rp 300 miliar/tahun. Daerah-daerah lain kurang lebih juga seperti itu. Karena itu PLN tidak mampu meningkatkan terus kapasitas produksinya di banyak daerah. Bukankah semakin tinggi kapasitas produksinya semakin tinggi ruginya?

Akibatnya banyak daerah kesulitan listrik. Jangankan untuk mengembangkan ekonomi daerah itu, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari saja tidak cukup. Bisa dimaklumi kalau lantas banyak daerah yang tidak bisa maju.

Investor tidak tertarik sehingga investasi terus saja terpusat di Jawa. Lama-lama, kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa bisa kian menganga saja. Lalu, bagaimana masa depan NKRI kalau keadaan yang seperti ini terus berlangsung? Apakah akan muncul Papua-papua, RMS-RMS atau GAM-GAM yang lain?

Menghadapi kenyataan kesulitan listrik seperti itu Pemda di banyak daerah mengambil langkah yang tidak seragam. Inilah beberapa langkah yang telah diambil beberapa daerah di Indoensia, khususnya di luar Jawa:

1. Ada daerah yang menetapkan tarif sendiri yang lebih mahal dari yang ditentukan pemerintah pusat/PLN. Logikanya begini: kalau listrik sering mati toh masyarakat terpaksa membeli lilin. Padahal kalau dijumlah, harga pembelian lilin sebulan lebih mahal dari tingkat kenaikan listrik yang dilakukan. Dengan menaikkan tarif listrik setempat seperti itu PLN daerah mampu membeli tambahan diesel. Ini yang antara lain dilakukan oleh Walikota Tarakan yang gagah berani (termasuk berani melayani demo-demo kenaikan tarif dari rakyatnya), dr Yusuf. Kini di Tarakan tarif listriknya tertinggi di Indonesia. Namun tidak lagi byar-pet. Juga tidak pernah lagi terdengar ada rumah yang terbakar gara-gara lilin.

2. Ada daerah yang “membantu” PLN setempat dengan cara membelikan diesel. Mesin-mesin diesel tersebut dibeli dengan APBD karena Pemda setempat sudah panik terus-menerus didemo rakyatnya yang menuntut tercukupinya listrik. Diesel dari APBD tersebut lantas diserahkan ke PLN untuk dioperasikan. Dengan melakukan hal seperti ini, Pemda punya perasaan bahwa Pemda telah membantu PLN sehingga giliran PLN dituntut untuk memberikan layanan lebih baik. Dalam hal kasus seperti ini, sebenarnya PLN tidak merasa terbantu. Mengapa? Dengan diberi tambahan diesel seperti itu sebenarnya Pemda telah mendorong PLN untuk rugi lebih besar lagi.

3. Ada daerah yang berinisiatif membuat terobosan seperti Kaltim. Yakni membentuk perusahaan daerah kelistrikan. Perusda kelistrikan Kaltim, bekerjasama dengan swasta akan membangun PLTU batu-bara 2 x 25 MW. Langkah model Kaltim ini, kelihatannya, akan segera diikuti oleh Kalbar dan Lombok.

4. Ada daerah yang ingin membangun PLTU batu bara model Kaltim itu namun tidak tahu cara dan mekanismenya. Pengetahuan orang Pemda tentang listrik sangatlah minim. Mengapa? Lantaran selama ini Pemda memang tidak tahu menahu soal listrik. Pemda menyerah begitu saja pada apa yang dilakukan PLN. Istilah-istilah listrik pun mereka sulit memahaminya, bagaimana akan membangunnya?

5. Ada daerah yang ingin memberlakukan tarif regional seperti Tarakan, namun tidak cukup punya keberanian menghadapi protes masyarakatnya. Forum seminar hari ini di jakarta ini pun, saya kira, salah satu upaya untuk memberikan dorongan keberanian tersebut.

6. Ada daerah yang masa bodoh saja….

Memberlakukan tarif regional, adalah suatu keharusan. Agar masyarakat juga tahu bahwa tarif yang sekarang ini adalah bukan tarif yang wajar. Tapi dalam pelaksanaannya, barangkali perlu dipikirkan bagaimana agar bisa dipisah-pisahkan mana yang perlu mendapat tarif tinggi dan mana yang harus mendapat tarif rendah.

Kalau toh harus ada subsidi untuk lapisan tertentu, barangkali mekanisme subsidinya diubah sedemikian rupa sehingga ybs tahu bahwa dia sedang disubsidi (sekarang ini penduduk tidak sadar kalau sedang mendapat subsidi).

Meski tarif regional itu suatu keharusan, namun tetap saja mengandung sisi yang amat mengkhawatirkan dari sudut “memandang Indonesia ke depan”. Dengan tarif regional, maka hampir pasti tarif listrik di luar Jawa jauh lebih mahal daripada di Jawa. Ini akan berdampak jelek pada perkembangan perekonomian seluruh Indoensia.

Maka, penentuan tarif regional haruslah hanya merupakan jalan darurat sementara untuk mengatasi kepanikan-kepanikan akibat kekurangan listrik. Setelah itu, harus dipikirkan bagaimana mencarikan daerah (atau daerah itu sendiri mencari) sumber listrik yang lebih murah. Langkah yang ditempuh Kaltim (dan mungkin akan diikuti Kalbar dan Lombok) adalah merupakan terobosan itu.

Kalau saja terobosan seperti ini bisa dilakukan bisa jadi ada daerah di luar Jawa yang tarif listriknya lebih murah atau paling tidak sama dengan di Jawa. Logikanya, karena Kaltim punya tambang batubara yang luar biasa dan PLTU di sana bisa dibangun di dekat tambang, maka tarif regional di Kaltim, bisa berarti lebih murah dari di Jawa. Lalu, Kaltim punya daya tarik yang lebih di mata investor.

Ini memang baru logika di atas kertas, yang pelaksanaan di lapangan masih harus diuji dengan pengalaman. Tentu tidak semua daerah seperti Kaltim. Daerah lain tentu akan lebih banyak berharap pada investor. Tapi investor tidak ada yang berani masuk ke daerah karena tidak adanya dukungan peraturan dari pusat.

PLN sendiri kini dalam posisi yang sulit karena dilarang oleh sebuah Kepres untuk mengikat perjanjian pembelian listrik dari swasta. Tujuan Kepres tersebut baik, yakni untuk tidak mengulang kejadian Paiton, di mana proyek listrik swasta yang melibatkan keluarga Cendana itu nyaris membangkrutkan PLN. Namun sudah selayaknya Kepres tersebut direvisi dengan mengecualikan proyek-proyek kecil model Kaltim. Tanpa merevisi Kepres tersebut maka penyediaan listrik yang baik di daerah akan terus terbelit problem telur dan ayam yang abadi.

Filed under: Uncategorized, , , , , , ,

Kalau Saja Ada 10 Orang Seperti Dahlan Iskan

29 April 2003,  Kalau Saja Ada 10 Seperti Dahlan Iskan

Ikhsan: Recovery Ekonomi Indonesia akan Sangat Cepat

Pontianak,- Prestasi CEO Jawa Pos: H Dahlan Iskan dalam memulai, menjalankan dan mengembangkan roda bisnisnya dipuji ilmuan dari STIESIA Surabaya, Drs Ikhsan Budi M.Si yang hadir di Kota Pontianak dalam rangka pelatihan manajemen koperasi di Pusdiklat Pemprov, Senin (28/4). “Beliau itu hebat karena membangun kerajaan bisnisnya dimulai dari bawah dan tampak sekali disiplin serta kerjakeras melandasinya,” ungkap Ikhsan dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya dikitari peserta pelatihan manajemen koperasi yang berjumlah tak kurang dari 30 orang.

Kata dia, Dahlan Iskan kini terbilang pengusaha sukses yang sangat cinta produk dalam negeri—atau setidaknya amat pro otonomi. “Ini dibuktikan saat Beliau mendatangkan mesin pembuat kertas dari Jerman. Beliau menggunakan ilmuan ITS karena ternyata di Indonesia tidak sedikit manusia cerdas dan pintar,” timpalnya seraya mengakui kepercayaan dirilah yang diperlukan sehingga Indonesia bisa segera recovery ekonomi (penyembuhan ekonomi, Red).

“Kalau ada 10 saja pengusaha seperti Pak Dahlan, recovery ekonomi Indonesia akan sangat cepat,” timpalnya sambil menyebut pabrik kertas milik Jawa Pos di Gersik sudah bisa ekspor ke luar negeri.

Diakui Ikhsan yang juga tak jarang kampusnya bekerjasama dengan Jawa Pos, bahkan Dahlan Iskan menjadi dosen tamu di STIESIA—para pemuda, pengelola koperasi dan pengusaha kecil, patut menjadikannya suri teladan. Tak terkecuali peserta pelatihan di Kalbar.

“Memang kerjakeras dan disiplin ditambah kemampuan memanage bisnis merupakan kunci sukses setiap pengusaha,” ujarnya ketika memberikan paparan materi.

Kehadiran Ikhsan tidak sendiri. Dia ditemani seniornya Drs Ec Sugiyono MM. Dan keduanya datang dalam memenuhi kerjasama PUKK Pupuk Kaltim dalam pelatihan managemen koperasi selama 28-2 Mei.

Di tempat terpisah, Gubernur Kalbar H Usman Ja’far juga sempat termanggut-manggut memuji kepiawaian CEO Jawa Pos Dahlan Iskan. “Saya tahu dari Gubernur Jatim bahwa Pak Dahlan dipercayakan memegang 16 Perusda yang sudah collapse (tumbang, Red) di Jatim dan di bawah managemen Beliau kini sudah menguntungkan,” ujarnya saat Dahlan Iskan hadir presentasi kerjasama power-plant beberapa waktu yang lalu di ruang rapat gubernur.

Lantas apa kata Dahlan Iskan? Nah, seraya senyum dia menimpali, “Saya menerima tawaran Gubernur Jatim itu dengan tiga syarat. Pertama: saya tidak mau digaji! Kedua: apa yang saya lakukan jangan diganggu. Ketiga: jangan berikan fasilitas apapun,” timpalnya.

Lebih lanjut kata Dahlan Iskan, ke-16 perusda yang sudah tidak produktif itu kini sudah produktif dan bisa menyumbangkan pendapatan asli daerah (PAD) lebih dari Rp 2 milyar. (kan)

Filed under: Uncategorized, , , , , , ,

Profil Dahlan Iskan

Dahlan Iskan (lahir tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur), adalah CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos News Network, yang bermarkas di Surabaya. Karir Dahlan Iskan dimulai sebagai calon reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1975. Tahun 1976, ia menjadi wartawan majalah Tempo. Sejak tahun 1982, Dahlan Iskan memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang. Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar. Lima tahun kemudian terbentuk Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada tahun 1997 ia berhasil mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya, dan kemudian gedung serupa di Jakarta. Pada tahun 2002, ia mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru.

sumber : http://id.wikipedia.org

Filed under: Profil, , ,

March 2009
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  

Archives

Pages

Categories

Recent Comments

Mr WordPress on Profil Dahlan Iskan

Blog Stats

  • 5,854 hits